PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERRHADAP
TERNAK
( KAMBING )
DISUSUN OLEH
:
NAMA : ALI SAFRIN
NIM : 13110017
DOSEN PEMBIMBING
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
ABULYATAMA ACEH
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat
Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah yang berjudul “Pengaruh Suhu Terhadap
Lingkungan Ternak Kambing”ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. makalah
ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah Ilmu politik.
Keberhasilan
penulis dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Aceh Besar, 29 April 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................................
B. Rumusan Masalah ............................................................................................
BAB II URAIAN MATERI .....................................................................................
1.
Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologis Kambing PE........................
2.
Hasil
penilitian Qiston (2007) menunjukkan ...................................................
3.
Respons Termoregulasi Terhadap Kambing PE ...............................................
4.
Konsumsi
Ransum dan Pertambahan Bobot Tubuh ........................................
BAB III PENUTUP ...................................................................................................
1. Kesimpulan ......................................................................................................
2. Saran ................................................................................................................
DAFTAR PUSATAKA ............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peternakan
merupakan suatu kegiatan mengembangbiakan dan membudidayakan hewan ternak untuk
diambil manfaat dari hasil kegitan. Dalam kegiatan tersebut perternak berupaya
mendatang ternak unggul dari negara-negara yang mempunyai ternak domestik
unggul yang pertumbuhan dan produksinya bagus, seperti Kambing Etawa dari
India. Namun peternak di Indonesia terkendala karena bibit tersebut perlu
penyesuaian terhadap iklim dan suhu lingkungan Indonesia. Maka dalam hal ini
perlu manipulasi agar ternak dapat beradaptasi dengan lingkungan
Sistem pemeliharaan kambing di Indonesia sebagian besar
masih dilakukan secara tradisional oleh petani ternak. Ternak dilepas atau
digembalakan di lapangan atau padang rumput lain pada siang hari. Konsekuensi
sistem pemeliharaan demikian adalah terjadinya beban panas yang berlebih atau
cekaman panas pada ternak, karena pengaruh langsung dari radiasi matahari dan
suhu lingkungan yang tinggi. Kondisi ini memaksa ternak untuk mengaktifkan
mekanisme termoregulasi, yaitu peningkatan suhu rektal, suhu kulit, frekuensi
pernafasan dan denyut jantung, serta menurunkan konsumsi pakan (Purwanto et
al., 1996).
Rendahnya persentase bobot karkas pada suhu lingkungan
rendah disebabkan oleh tingginya bobot alat pencernaan (jeroan), berhubung
tingginya konsumsi pakan di daerah suhu lingkungan rendah. Terjadinya
peningkatan konsumsi pakan, diikuti peningkatan bobot jeroan dan isi. Kaitan
antara suhu lingkungan dengan konsumsi pakan, dijelaskan melalui pengaruhnya
pada aktivitas metabolisme.
B.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengaruh suhu lingkungan
terhadap fisiologi kambing PE
2. Mengetahui respon termoregulasi
terhadap kambing PE
3. Mengatahui pengaruh konsumsi
ransum dan pertambahan bobot tubuh kambing PE terhadap suhu pada
kandang
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologis Kambing PE
Masalah utama dari ternak yang dipelihara di daerah tropis
basah, seperti di Indonesia, adalah tingginya radiasi matahari secara langsung
sepanjang tahun, khususnya bagi ternak berproduksi tinggi, sehingga ternak
dalam kondisi uncomfort karena beban panas yang berlebih. Respons dari masalah
ini adalah ternak terpaksa meningkatkan aktivitas termoregulasi guna mengatasi
beban panas yang dideritanya. Suhu dan radiasi matahari pada kandang tanpa atap
atau tanpa naungan atap lebih tinggi daripada kandang dengan naungan atap.
Sebaliknya kelembaban dalam kandang tanpa naungan atap lebih rendah daripada di
dalam kandang dengan naungan atap.
Menurut Smith dan Mangkuwidjojo (1988) bahwa daerah nyaman
bagi kambing berkisar antara 18 dan 300C. Peningkatan suhu terjadi
sejalan dengan peningkatan besarnya radiasi matahari yang diterima. Namun
demikian, diduga bahwa beban panas yang lebih kecil dialami oleh kambing yang
dipelihara di bawah naungan atap. Kondisi ini terlihat dari kemampuan naungan
atap untuk memperbaiki lingkungan mikro dalam kandang naungan atap, yaitu
menurunkan suhu dan radiasi matahari.
Mekanisme fisiologis mengharuskan alokasi energi untuk
kinerja produksi maupun reproduksi dipakai untuk mempertahankan keseimbangan
panas tubuh. Dengan demikian, akan berdampak buruk yaitu penurunan
produktivitas ternak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
mengendalikan panas yang diterima dan peningkatan panas yang terbuang oleh
ternak, yaitu pemberian naungan atau atap dan pemilihan bahan atap yang lebih
efektif dalam menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang kondusif bagi ternak
untuk berproduksi. Jenis atap kandang yang biasa digunakan oleh para peternak,
yaitu atap dari rumbia, seng, dan genteng. Dari bahan tersebut kita dapat
membandingkan bahan atap mana yang lebih efektif dalam menciptakan kondisi
iklim mikro kandang yang kondusif bagi ternak untuk berproduksi.
2.
Hasil penilitian Qiston (2007)
menunjukkan:
1.
Jenis atap tidak mempengaruhi suhu udara, kelembaban udara,
dan radiasi matahari dalam kandang
2.
Kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih
rendah dibandingkan dengan kambing yang ada di dalam kandang beratap genteng
dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap
genteng menyebabkan suhu rektal ternak kambing lebih rendah dibandingkan ternak
beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan
malam hari tidak berbeda
3.
Kandang beratap rumbia menyebabkan respons frekuensi
pernafasan lebih rendah dibandingkan dengan ternak beratap seng baik pada
pengamatan siang maupun rataan harian, sedangkan dibandingkan dengan ternak
beratap genteng tidak berbeda. Pengamatan malam hari ketiga jenis atap
menghasilkan frekuensi pernafasan yang tidak berbeda;
4.
Ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan
respons frekuensi denyut jantung baik pada pengamatan siang hari, malam hari,
maupun rataan harian;
5.
Ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan
respons pertambahan bobot badan harian pada ternak kambing percobaan.
3.
Respons Termoregulasi Terhadap Kambing PE
Suhu rektal kambing PE pada kandang tanpa naungan atap
memberikan hasil yang lebih besar daripada kambing yang dinaungi. Hasil ini
mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang dialami oleh
kambing pada kandang tanpa naungan atap lebih besar jika dibandingkan dengan
kambing yang dinaungi. Hal ini disebabkan lebih tingginya suhu dan radiasi matahari
dalam kandang tanpa naungan atap. Menurut Mc Dowell (1972), suhu lingkungan
yang tinggi mengakibatkan peningkatan suhu tubuh ternak.
Meskipun nilai rataan suhu rektal kambing PE pada kedua
kondisi pemeliharaan di kandang dengan naungan atap dan di kandang tanpa
naungan atap, suhu rektal keduanya masih berada dalam kisaran normal suhu
rectal kambing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkuwidjojo
(1988), suhu rektal kambing pada kondisi normal adalah 38,5 -400C
dengan rataan 39,40C atau antara 38,5 dan 39,70C dengan
rataan 39,10C (Anderson, 1970). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme
termoregulasi dapat berjalan dengan baik.
Kambing yang dipelihara pada kandang tanpa naungan atap
memiliki frekuensi pernapasan dan denyut jantung yang lebih tinggi daripada
kambing di bawah naungan atap. Kondisi ini dikarenakan ternak pada kandang
tanpa naungan atap mengalami cekaman atau beban panas yang lebih besar,
sehingga akan melakukan aktivitas mekanisme termoregulasi melalui jalur
evaporasi, baik melalui kulit maupun pernafasan, yang lebih besar jika
dibandingkan dengan ternak yang berada di bawah naungan atap. Frandson (1993)
menyatakan bahwa ternak yang tidak dinaungi akan mengalami peningkatan pada
suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut jantung,
sebagai akibat adanya tambahan panas dari luar tubuh terutama yang berasal dari
radiasi panas matahari secara langsung.
4.
Konsumsi Ransum dan Pertambahan Bobot Tubuh
Tambahan bobot tubuh kambing yang dipelihara dalam kandang
dengan naungan atap lebih tinggi daripada kambing yang dipelihara di kandang
tanpa naungan atap. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum ternak di kandang
dengan naungan atap adalah lebih besar jika dibandingkan dengan kambing tanpa
naungan atap.
Konsumsi ransum pada kambing yang dipelihara tanpa naungan
atap lebih rendah daripada ternak yang dipelihara di bawah naungan atap. Hal
ini disebabkan karena kambing tanpa naungan atap mengalami cekaman atau beban
panas yang lebih besar, sehingga terpaksa menurunkan tingkat konsumsi pakannya
sebagai upaya untuk mengurangi produksi panas tubuh untuk mencegah cekaman atau
beban panas yang semakin besar. Semakin besarnya penurunan beban panas yang
dialami oleh ternak di dalam kandang dengan naungan atap menunjukkan bahwa energi
yang dapat dimanfaatkan untuk proses-proses metabolisme pada ternak di bawah
naungan atap lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang terpaksa
digunakan untuk proses termoregulasi pada ternak tanpa naungan atap.
Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa suhu lingkungan
mempengaruhi konsumsi pakan. Krogh (2000) menyatakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah suhu lingkungan. Suhu ruangan di bawah
thermoneutral menyebabkan kosumsi pakan ternak meningkat, sedangkan suhu ruangan
di atas kisaran tersebut menyebabkan penurunan konsumsi pakan. Penurunan
konsumsi pakan, antara lain disebabkan oleh meningkatnya konsumsi air minum
yang digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh terhadap suhu lingkungan yang
bertambah panas.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
·
Suhu dan radiasi matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa
naungan atap lebih tinggi daripada kandang dengan naungan atap. Sebaliknya
kelembaban dalam kandang tanpa naungan atap lebih rendah daripada di dalam
kandang dengan naungan atap
·
Jenis atap tidak mempengaruhi suhu udara, kelembaban udara,
dan radiasi matahari dalam kandang
·
Kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih
rendah dibandingkan dengan kambing yang ada di dalam kandang beratap genteng
dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap
genteng menyebabkan suhu rektal ternak kambing lebih rendah dibandingkan ternak
beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan
malam hari tidak berbeda;
·
Kandang beratap rumbia menyebabkan respons frekuensi
pernafasan lebih rendah dibandingkan dengan ternak beratap seng baik pada
pengamatan siang maupun rataan harian, sedangkan dibandingkan dengan ternak
beratap genteng tidak berbeda.
·
Kambing yang dipelihara pada kandang tanpa naungan atap
memiliki frekuensi pernapasan dan denyut jantung yang lebih tinggi daripada
kambing di bawah naungan atap
·
Konsumsi ransum pada kambing yang dipelihara tanpa naungan
atap lebih rendah daripada ternak yang dipelihara di bawah naungan atap
·
Penggunaaan naungan atap menghasilkan kondisi iklim yang
lebih nyaman jika dibandingkan tanpa naungan atap, yang ditunjukkan oleh lebih
rendahnya respons suhu rektal, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut
jantung, serta pertambahan bobot tubuh kambing PE yang lebih tinggi.
2.
Saran
Sebaiknya
para peternak menggunakan kandang yang menggunakan atap untuk memelihara hewan
ternak agar daging ataupun susu yang didapatkan lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
1970. Phase Boundary Water in Frosen Solls. Us Army CorpsCIF ENG. Cold Regions
CES. And Eng. Lab. Ra. 274. 17 p
Franson,
1997. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. Gadjah Mada. University press:
yogyakarta
Mangkuwidjojo,
1988. Bersahabat dengan Hewan. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta
Mc
Dowell, 1972. Vitamin in Animal Homnon. Academic press-cnc Harcount Brace
Jouanovich Publisher, San Diego, LA
Purwanto,et al, 1996. Psikologi
Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar